Di kemukiman Krueng Geukeuh - Kecamatan Dewantara ada sebuah Komplek Makam yang sunyi dari kunjungan penziarah, sepi pula dari cerita orang-orang disana tentang keberadaan makam itu, baik asal usulnya, riwayatnya bahkan legenda apa gerangan yang menjadi latar belakang makam itu, tiada yang tahu.
Berikut salah seorang pemerhati sejarah Marzuki H Muhammada Cut yang ditemui Media coba menceritakan sejarah asal usul Krueng Geukueh dan inilah kisahnya.
Tuanku Muhammad Thaher bin Tuanku Raja Cut Zanal Abidin adalah nama lengkap dari Almarhum yang makamnya saat ini ada di Dusun 2 Gampong Tambon Baroh, Kecamatan Dewantara - Aceh Utara.
Tuanku Muhammad Thaher adalah putra dari Tuanku Raja Cut Zainal Abidin bin Sultan Mahmud Alaidinsyah I, Raja Kesultanan Aceh yang memerintah pada Tahun 1764-1763. Setelah Sultan Mahmud Alaidinsyah meninggal dunia, seharusnya Tuanku Raja Cut Zainal sebagai anak tertua dari dua Putra Sultan Mahmud Alidinsyah didaulat menjadi raja, namun karena penyakit cacar yang pernah beliau miliki dan meninggalkan bekas (katarak) pada matanya, maka Tuanku Raja Cut Zainal batal menjadi Sultan dan adiknya Tuanku Muhammad diangkat menjadi Raja dengan gelar Sultan Alaidin Muhammadsyah.*)
Berselang 94 Tahun kemudian, ketika Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Alaidin Ibrahim Mansursyah 1857-1870 saat hubungan Belanda dan Aceh memburuk dan pada masa itu Belanda mengancam akan segera melakukan penyerangan ke Aceh.
Maka dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi perang dengan Balanda, Sultan Alaidin Ibrahim Mansuryah meminta ajudannya yang sangat mahir mengatur siasat perang yaituTuanku Hasyem Banta Muda untuk mempersiapkan taktik perang, persiapan logistik rakyat dan pejuang, kesiapan perekonomian demi menunjang perang dan sebagainya.
Tuanku Muhammad Thaher adalah putra dari Tuanku Raja Cut Zainal Abidin bin Sultan Mahmud Alaidinsyah I, Raja Kesultanan Aceh yang memerintah pada Tahun 1764-1763. Setelah Sultan Mahmud Alaidinsyah meninggal dunia, seharusnya Tuanku Raja Cut Zainal sebagai anak tertua dari dua Putra Sultan Mahmud Alidinsyah didaulat menjadi raja, namun karena penyakit cacar yang pernah beliau miliki dan meninggalkan bekas (katarak) pada matanya, maka Tuanku Raja Cut Zainal batal menjadi Sultan dan adiknya Tuanku Muhammad diangkat menjadi Raja dengan gelar Sultan Alaidin Muhammadsyah.*)
Berselang 94 Tahun kemudian, ketika Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Alaidin Ibrahim Mansursyah 1857-1870 saat hubungan Belanda dan Aceh memburuk dan pada masa itu Belanda mengancam akan segera melakukan penyerangan ke Aceh.
Maka dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi perang dengan Balanda, Sultan Alaidin Ibrahim Mansuryah meminta ajudannya yang sangat mahir mengatur siasat perang yaituTuanku Hasyem Banta Muda untuk mempersiapkan taktik perang, persiapan logistik rakyat dan pejuang, kesiapan perekonomian demi menunjang perang dan sebagainya.
Salah satu siasat dalam bidang mempersiapkan perekonomian, Tuanku Hasyem Banta Muda adalah memulihkan kembali hubungan dengan kaum dan keluarga Tuanku Raja Cut Zainal Abidin yang gagal menjadi Sultan akibat penyakit katarak, namun keluarga dari Sultan Raja Cut Zainal Abidin adalah seorang yang cerdas dalam perdagangan yaitu putra beliau Tuanku Muhammad Thaher bin Raja Cut Zainal Abidin.
Maka atas saran Tuanku Hasyem Banta Muda, pihak Kesultanan Aceh menganugerahkan tanah bebas atau tanah yang belum digarap siapapun kepada Tuanku Muhammad Thaher yang berbatasan dengan Blang Lancang di sebelah Timur, Kuala Bungkah disebelah Barat, Selat Malaka disebelah Utara dan Negeri Nisam disebelah Selatan.*)
Lalu Tuanku Hasyem Muda meminta Tuanku Muhammad Thaher yang juga pamannya itu untuk menggarap tanah tersebut dengan membuka ladang pertanian, perkebunan dan melakukan perdagangan disana, untuk kemudian sebagian dari hasil usaha tersebut digunakan untuk dana perang dengan Belanda dan hal ini disetujui oleh Tuanku Muhammad Thaher.
Berangkatlah Tuanku Muhammad Taher dengan beberapa pengikutnya yang beliau bawa dari Aceh Besar dan Pidie ke lokasi tanah yang diberi oleh Kesultanan Aceh itu dengan membuka usaha perkebnan lada, pala, padi dan sebagainya.
Tuanku Muhammad Taher dengan modal pengetahuan dan tenaga-tenaga yang dibawanya dari Aceh Besar dan Pidie, menebas hutan, menggali sungai (Kueh Krung) yang melahirkan nama Krueng Geukeuh) membuat irigasi, sawah dan ladang, kebun, menanam padi, lada, kelapa dan sebagainya lalu membuat pelabuhan dan melakukan hubungan dagang dengan Penang - Malaysia.*)
Usaha Tuanku Muhammad Thaher berkembang gemilang dan memberikan hasil yang besar dari sektor pertanian Lada, kelapa dan sebagainya lalu diangkut ke Penang dengan kapalnya sendiri dan kapal-kapal yang disediakan Tuanku Hasyem.
Hasil pertanian tersebut ditampung oleh T.Paya untuk diuangkan dan sebagian dikirim ke Kesultanan Aceh sebagai infaq dan sedekah untuk membantu perang Aceh.
Di Krueng Geukueh Tuanku serta pengikutnya tinggal di suatu kuta (benteng pertahanan) yang berpupaleh (dinding) batu, yakni suatu menara beton (mirip mercusuar sekarang) sampa beliau meninggal dunia dan dimakamkan disana.
Tanah perkuburan almarhum itu dikenal umum di Krueng geukueh ketika itu dengan nama Kanang Tuanku (tepatnya di Gampong Pasie Timu) yang saat ini telah menjadi loaksi pabrik PT AAF,
Salah satu siasat dalam bidang mempersiapkan perekonomian, Tuanku Hasyem Banta Muda adalah memulihkan kembali hubungan dengan kaum dan keluarga Tuanku Raja Cut Zainal Abidin yang gagal menjadi Sultan akibat penyakit katarak, namun keluarga dari Sultan Raja Cut Zainal Abidin adalah seorang yang cerdas dalam perdagangan yaitu putra beliau Tuanku Muhammad Thaher bin Raja Cut Zainal Abidin.
Maka atas saran Tuanku Hasyem Banta Muda, pihak Kesultanan Aceh menganugerahkan tanah bebas atau tanah yang belum digarap siapapun kepada Tuanku Muhammad Thaher yang berbatasan dengan Blang Lancang di sebelah Timur, Kuala Bungkah disebelah Barat, Selat Malaka disebelah Utara dan Negeri Nisam disebelah Selatan.*)
Lalu Tuanku Hasyem Muda meminta Tuanku Muhammad Thaher yang juga pamannya itu untuk menggarap tanah tersebut dengan membuka ladang pertanian, perkebunan dan melakukan perdagangan disana, untuk kemudian sebagian dari hasil usaha tersebut digunakan untuk dana perang dengan Belanda dan hal ini disetujui oleh Tuanku Muhammad Thaher.
Berangkatlah Tuanku Muhammad Taher dengan beberapa pengikutnya yang beliau bawa dari Aceh Besar dan Pidie ke lokasi tanah yang diberi oleh Kesultanan Aceh itu dengan membuka usaha perkebnan lada, pala, padi dan sebagainya. Tuanku Muhammad Taher dengan modal pengetahuan dan tenaga-tenaga yang dibawanya dari Aceh Besar dan Pidie, menebas hutan, menggali sungai (Kueh Krung) yang melahirkan nama Krueng Geukeuh) membuat irigasi, sawah dan ladang, kebun, menanam padi, lada, kelapa dan sebagainya lalu membuat pelabuhan dan melakukan hubungan dagang dengan Penang - Malaysia.*)
Usaha Tuanku Muhammad Thaher berkembang gemilang dan memberikan hasil yang besar dari sektor pertanian Lada, kelapa dan sebagainya lalu diangkut ke Penang dengan kapalnya sendiri dan kapal-kapal yang disediakan Tuanku Hasyem. Hasil pertanian tersebut ditampung oleh T.Paya untuk diuangkan dan sebagian dikirim ke Kesultanan Aceh sebagai infaq dan sedekah untuk membantu perang Aceh.
Di Krueng Geukueh Tuanku serta pengikutnya tinggal di suatu kuta (benteng pertahanan) yang berpupaleh (dinding) batu, yakni suatu menara beton (mirip mercusuar sekarang) sampa beliau meninggal dunia dan dimakamkan disana. Tanah perkuburan almarhum itu dikenal umum di Krueng geukueh ketika itu dengan nama Kanang Tuanku (tepatnya di Gampong Pasie Timu) yang saat ini telah menjadi loaksi pabrik PT AAF, Saat ini perkuburan Kanang Tuanku telah dipindahlkan ke Tambon Baroh dengan dibangun kembali menara beton sebagai kenang kenangan kepada pupaleh batu (Mercusuar) yang ada dalam benteng yang dahulu ditempati Tuanku di Pasi timu.
Sepeninggal Tuanku Muhammad Taher, usahanya diteruskan oleh anaknya Tuanku Raja Lhok Ali Syamsul bahri sementara urusan dagang dipercayakan kepada Tuanku Manyak anak dari pang sikureng dari Batee Pidie. Tidak ada sejarah tentang pengikut Tuanku Muhammad Thaher yang juga terlibat perang saat Belanda menyerang Aceh Pada Tahun 1873, sebagian mereka masih hidup dan telah membaur dengan masyarakat pendatang dan ada juga yang syahid di tanah yang dahulunya digarap Tuanku Muhammad Thaher.
Keluarga adan keturunan Tuaku Muhammad Thaher saat ini ada yang menetap di Lhokseumawe, Nisam dan Sawang bahkan ada yang di jakarta dan luar Negeri.
Kesimpulan : Untuk menjadi Sultan Aceh tidak boleh cacat phisik apalagi cacat mental
Sultan Aceh mempersiapkan perang dengan musuh, pada segala bidang
Pada masa kerajaan Aceh sudah ada perdagangan eksport import di Pelanuhan Kruenggeukueh
Nama Krunggeukueh telah ada sejak tahun 1870 dan dicetuskan Tuanku Muhammad Thaher Tanah yang menjadi lokasi Kruenggeukueh atau Kecamatan Dewantara sekarang telah ada sejak Tahun 1870. (**)
Penulis: Usman Cut Raja
No comments:
Tulis comments