-->

Friday, October 4, 2024

Opini: Pesan Rindu untuk Ibu yang telah Berpulang

 



Ilustrasi 



Oleh: T. Nazaruddin

Ibuku yang tercinta… di keheningan malam aku teringat padamu, merindukanmu. Merindukanmu yang kini bersemayam jauh dariku di pusara di sisi Rabbil izzati… Aku teringat ketika aku masih sekolah dasar. Setiap malam, usai shalat maghrib engkau mengajariku mengaji, membaca, dan menulis.

Betapa bahagianya aku, ketika pertama kali bisa mengaji, membaca, dan menulis. Pertama kali bisa membaca, aku dengan girang memberitahukanmu. Engkau tersenyum bahagia, seraya memelukku, menciumku, dan memujiku. Dengan matamu, dengan jari-jarimu, engkau secara lambat tapi pasti menuntunku mengenal dunia, melalui bacaan-bacaan yang engkau perkenalkan, dalam setiap desah hidupmu.

Ibuku yang tercinta… aku teringat kala aku ingin sekali memiliki sepeda seperti teman-temanku. Aku meminta pada ayah tapi ayah tidak memenuhinya, selalu berjanji akan membelikannya. Ayah tidak pernah membelikan sepeda yang kuminta. Aku mulai putus asa dan menangis.

Engkau datang dan mendekapku, meneduhkanku, mengusap-usap kepalaku dan menghiburku, seraya berkata “sabar… sabarlah anakku. Belajarlah yang rajin, sekolah yang rajin. Suatu saat kalau engkau sudah bekerja, mempunyai uang sendiri belilah apa yang engkau suka.” Ibuku yang tercinta engkau menghiburku hingga aku tenang, timbul tekadku di masadepan dan aku berhenti menangis…

Lulus sekolah menengah atas di kota kecil di sebuah pulau Sumatera aku dan teman-teman dekatku terobsesi untuk kuliah di pulau Jawa. Meskipun ayahku tidak punya uang karena pekerjaannya tidak menentu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku tetap bersikukuh untuk pergi ke Jawa.

Ibuku yang tercinta engkau sangat berkeberatan untuk melepas kepergianku, tapi karena aku terus memaksa engkau tak kuasa melarangku. Berbekal uang perjalanan seadanya, aku bersama teman-teman menumpang kapal laut Kambuna dari Belawan Medan ke Tanjung Priok Jakarta. Selanjutnya kami menumpang bis dari Tanjung Priok Jakarta menuju kota Bandung.

Selama tiga bulan aku menetap di Bandung, tepatnya di Bagusrangin. Pada masa itu, belum ada handphone dan internet. Sebulan sekali aku mengirim surat pada engkau ibuku tercinta. Aku menceritakan keadaanku dan aktifitasku selama di Bandung. Hingga bulan kedua, aku kehabisan uang untuk kebutuhan hari-hari.

Saking asyiknya menceritakan keadaanku pada sepucuk surat, tanpa sengaja aku menceritakan betapa sulitnya hari-hari kujalani tanpa uang, bahkan aku hanya mampu makan supermie. Pada balasan suratku yang ditulis oleh kakakku, ia ceritakan betapa sedihnya engkau ibuku tercinta saat membaca suratku yang menceritakan kesulitan hidupku di rantau.


Tulis kakakku,”Dik, ibu membaca surat engkau yang menceritakan tentang betapa susahnya engkau dirantau, membuat ibu bersedih dan menangis berhari-hari, tidak mau makan dan minum. Ibu hanya duduk termenung dan menangis….”

Masya Allah… ibuku tercinta… aku tidak terpikir engkau akan sangat bersedih hati membaca suratku. Aku sungguh sangat menyesal menceritakan kepedihan hidupku di rantau. Aku tidak membayangkan engkau akan lebih bersedih dan menderita karena mengetahui kesusahan hidupku di rantau.


Sejak itu aku tidak menceritakan lagi kepedihan hidupku di rantau melalui surat yang kukirimkan kepada engkau ibuku. Aku hanya menceritakan hari-hariku di Bandung yang menyenangkan dan berjumpa teman-teman baru saat kos di Bagusrangin, Saat di Bandung aku mengikuti ujian masuk perguruan tinggi di Gedung Serbaguna ITB.

Menjelang akhir bulan ketiga aku menetap di Bandung, keluarlah pengumuman ujian masuk perguruan tinggi dan ternyata aku tidak lulus pilihan pertama tapi lulus pada pilihan kedua. Berarti aku harus segara pulang dan mendaftar ulang di perguruan tinggi yang terletak di ibukota provinsi tempat kelahiranku. Aku mengirim surat dan minta dikirimkan uang untuk kebutuhan hari-hari dan biaya pulang ke kampung halaman. Ayah tidak ada uang dan di rumah hanya ada satu barang berharga yang dapat dijual yaitu sebuah televisi hitam putih perabot merek Lincoln.

Barang itu satu-satunya yang menghibur keluarga di rumah. Namun engkau ibuku tercinta sangat khawatir pada keadaan dan kebutuhanku, engkau rela dan mendesak ayah untuk menjual satu-satunya barang berharga itu dan mengirimkan uangnya padaku melalui wesel.

Tahun-tahun berganti, aku mengikuti kuliah dan meraih sarjana, magister, dan doktor. Engkau dengan setia dan penuh pengabdian terus mendukungku dan mendo’akan keberhasilanku. Saat terakhir aku akan berangkat ke Malang, Jawa Timur untuk mengikuti ujian doktor, engkau sakit berat dan terkapar di atas tempat tidur berhari-hari

Dengan berat hati aku harus meninggalkanmu… dan ternyata engkau meninggalkanku untuk selamanya…. Ibuku tercinta… selama hidupmu engkau selalu menderita dan aku tidak mampu membalas pengorbanan yang engkau berikan. Hanya do’a yang dapat selalu kupanjatkan kehadirat Allah SWT dan sadaqah atas namamu… Semoga engkau bahagia di sisi Allah Swt dan menempatkan engkau dalam syurgaNya, aamiin ya Rabbal’alamiin.

Lhokseumawe, 1 Oktober 2024

Show comments
Hide comments
No comments:
Tulis comments


 

Latest News

Back to Top